Dalam pandangan
tradisional, perempuan diidentikkan dengan sosok yang lemah, halus dan
emosional. Sementara laki-laki digambarkan sebagai sosok yang gagah, berani dan
rasional. Pandangan ini telah memposisikan perempuan sebagai makhluk yang
seolah-olah harus dilindungi dan senantiasa bergantung pada kaum laki-laki.
Akibatnya,
jarang sekali perempuan untuk bisa tampil menjadi pemimpin, karena mereka
tersisihkan oleh dominasi laki-laki dengan male chauvinistic-nya. Dalam konteks pendidikan, Goldring dan Chen
(1994) mengatakan bahwa para perempuan di Inggris Raya dan di manapun
kebanyakan perempuan hanya berperan dalam profesi mengajar, namun relatif
sedikit dan jarang ada yang memiliki posisi-posisi penting pemegang otoritas
dalam sejumlah sekolah menengah perguruan tinggi dan adminsitrasi lokal
pendidikan.
Sejalan dengan gerakan emansipasi dan gerakan kesetaraan
gender yang intinya berusaha menuntut adanya persamaan hak perempuan dalam
berbagai bidang kehidupan, maka setahap demi setahap telah terjadi pergeseran
dalam mempersepsi tentang sosok perempuan. Mereka tidak dipandang lagi sebagai
sosok lemah yang selalu berada pada garis belakang, namun mereka bisa tampil di
garis depan sebagai pemimpin yang sukses dalam berbagai sektor kehidupan, yang
selama ini justru dikuasai oleh kaum laki-laki.
Anda mungkin
pernah menyaksikan acara Fear
Factor, sebuah acara reality
show di televisi (pernah ditayangkan
oleh salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia) yang menyuguhkan
tantangan yang sangat ekstrem kepada para pesertanya untuk berkompetisi
memperebutkan sejumlah uang, Para peserta kadang-kadang terdiri dari gabungan
laki-laki dan perempuan. Mereka berkompetisi melalui beberapa tantangan ekstrem
untuk menguji ketahanan fisik dan psikisnya, seperti makan kecoa, berkubang
dengan kotoran dan bangkai, dan berbagai jenis tantangan ekstrem lainnya
(tentunya penyelenggara sudah memperhitungkan secara cermat standar
keamanannya). Dari beberapa episode tayangan, ternyata tidak sedikit yang
menjadi pemenangnya justru dari kalangan perempuan. Artinya, mithos yang selama
ini perempuan dianggap sebagai makhluk lemah, dengan menyaksikan tayangan acara
televisi tersebut kita bisa melihat bahwa sebenarnya kaum perempuan pun bisa
menunjukkan dirinya sebagai makhluk yang luar biasa kuat dan berani, dan tidak
kalah dari kaum laki-laki. Secara esensial dalam manajemen dan kepemimpinan pun
pada dasarnya tidak akan jauh berbeda dengan kaum laki-laki. Kita mencatat
beberapa tokoh perempuan yang berhasil menjadi pemimpin, Margareth Tatcher di
Inggris yang dijuluki sebagai “Si Wanita Besi”, Indira Gandhi di India, Cory
Aquino di Philipina, Megawati di Indonesia dan tokoh-tokoh perempuan lainnya.
Dalam konteks
pendidikan, fenomena kepemimpinan perempuan memang telah menjadi daya tarik
tersendiri untuk diteliti lebih jauh. Studi yang dilakukan Coleman (2000)
menunjukkan kepala-kepala sekolah dan para manajer senior perempuan lainnya di
Inggris dan Wales mengindikasikan mereka cenderung berperilaku model
kepemimpinan transformatif dan partisipatif. Studi lainnya tentang
kepala-kepala guru dan dan kepala-kepala sekolah perempuan di Amerika Serikat,
Inggris Raya, Australia, Selandia Baru dan Kanada menunjukkan bahwa para
manajer perempuan tampil bekerja secara kooperatif dan memberdayakan koleganya
serta memfungsikan team
work secara efektif (Blackmore, 1989;
Hall, 1996; Jirasinghe dan Lyons, 1996). Hasil lain dari studi yang dilakukan
Jirasinghe dan Lyons, (1996) mendeskripsikan tentang kepribadian pemimpin
perempuan sebagai sosok yang lebih supel, demokratis, perhatian, artistik,
bersikap baik, cermat dan teliti, berperasaan dan berhati-hati. Selain itu, mereka
cenderung menjadi sosok pekerja tim, lengkap dan sempurna. Mereka juga
mengidentifikasi diri dan mempersepsi dirinya sebagai sosok yang lebih
rasional, relaks, keras hati, aktif dan kompetitif.
Dalam hal-hal tertentu terdapat perbedaan penting antara laki-laki
dan perempuan dalam manajemen dan kepemimpinan, sebagaimana disampaikan oleh
Shakeshaft (1989) berdasarkan hasil peninjauan ulang penelitian di Amerika
Serikat, bahwa:
§
Perempuan
cenderung memiliki lebih banyak melakukan kontak dengan atasan dan bawahan,
guru dan murid.
§
Perempuan
menghabiskan banyak waktu dengan para anggota komunitas dan dengan koleganya,
walaupun mereka bukanlah perempuan.
§
Mereka lebih
informal.
§
Mereka peduli
terhadap perbedaan-perbedaan individual murid.
§
Mereka lebih
memandang posisinya sebagai seorang pemimpin pendidikan daripada seorang
manajer, dan melihat kerja sebagai suatu pelayanan terhadap komunitas
§
Terdapat suatu
sikap kurang menerima terhadap para pemimpin perempuan dari pada laki-laki.
Oleh karenanya, para pemimpin perempuan hidup dalam dunia yang terpendam dan
gelisah.
§
Mereka bisa
mendapatkan kepuasan yang banyak dari instruksi supervisi dan sementara laki
dari adminsitrasi.
§
Dalam
komunikasi, mereka dapat tampil lebih sopan dan tentatif daripada laki-laki,
yang cenderung sederhana dalam memberikan statemen. Bahasa tubuh juga berbeda,
yang menunjukkan bahwa perempuan lebih rendah daripada laki-laki.
§
Perempuan
cenderung lebih menggunakan model manajemen partisipatoris, dan menggunakan
strategi-strategi kolaboratif dalam menyelesaikan konflik.
Kendati demikian, sangat disayangkan dari berbagai penelitian
tentang kesuksesan kepemimpinan perempuan dalam organisasi, khususnya
organisasi pendidikan, tampaknya jarang sekali yang mengungkap tentang korelasi
kesuksesan perempuan dalam memimpin organisasi dengan kehidupan keluarganya.
Apakah mereka dapat sukses juga dalam memerankan dirinya sebagai seorang ibu
atau seorang istri? Apakah para suami merasa bahagia dan tidak merasa kecil
hati dengan kesuksesan istrinya? Apakah putera-puterinya tidak menjadi
terlantar? Mungkin diantara pembaca ada yang tertarik untuk menelitinya lebih
lanjut.
Sumber utama dan diambil dari :
Tony Bush & Marianne Coleman. 2006. Manajemen
Strategis Kepemimpinan Pendidikan(Terj.
Fahrurrozi). Jogjakarta: IRCiSoD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar