Guna menyikapi
tantangan globalisasi yang ditandai dengan adanya kompetisi global yang sangat
ketat dan tajam, di beberapa negara telah berupaya untuk melakukan revitalisasi
pendidikan. Revitalisasi ini termasuk pula dalam hal perubahan paradigma
kepemimpinan pendidikan, terutama dalam hal pola hubungan atasan-bawahan, yang
semula bersifat hierarkis-komando menuju ke arah kemitraan bersama. Pada hubungan atasan-bawahan yang bersifat hierarkis-komando, seringkali
menempatkan bawahan sebagai objek tanpa daya. Pemaksaan kehendak dan pragmatis
merupakan sikap dan perilaku yang kerap kali mewarnai kepemimpinan
komando-birokratik-hierarkis, yang pada akhirnya hal ini berakibat fatal
terhadap terbelenggunya sikap inovatif dan kreatif dari setiap bawahan. Dalam
melaksanakan tugas dan kewajiban, mereka cenderung bersikap a priori dan
bertindak hanya atas dasar perintah sang pemimpin semata. Dengan kondisi
demikian, pada akhirnya akan sulit dicapai kinerja yang unggul.
Menyadari semua
itu, maka perubahan kebijakan kepemimpinan pendidikan yang dapat memberdayakan
pihak bawahan menjadi amat penting untuk dilakukan. Dalam hal ini, Larry
Lashway (ERIC Digest, No. 96) mengetengahkan tentang Facilitative Leadership. yang pada intinya merupakan kepemimpinan yang
menitikberatkan pada collaborationdan empowerment.
Sementara itu, David Conley and Paul Goldman (1994) mendefinisikan facilitative
leadership sebagai : “the behaviors that enhance the collective
ability of a school to adapt, solve problems, and improve performance.” Kata kuncinya terletak pada collective. Artinya,
keberhasilan pendidikan bukanlah merupakan hasil dan ditentukan oleh karya
perseorangan, namun justru merupakan karya dari team work yang cerdas.
Dengan model kepemimpinan demikian, diharapkan dapat
mendorong seluruh bawahan dan seluruh anggota organisasi dapat memberdayakan
dirinya, dan membentuk rasa tanggung atas tugas-tugas yang diembannya.
Kepatuhan tidak lagi didasarkan pada kontrol eksternal organisasi, namun justru
berkembang dari hati sanubari yang disertai dengan pertimbangan rasionalnya.
Kepemimpinan fasilitatif merupakan alternatif model kepemimpinan yang dibutuhkan guna menghadapi tantangan masa depan abad ke-21, yang pada intinya model ini merujuk kepada upaya pemberdayaan setiap komponen manusia yang terlibat dan bertanggung jawab dalam pendidikan.
Kepemimpinan fasilitatif merupakan alternatif model kepemimpinan yang dibutuhkan guna menghadapi tantangan masa depan abad ke-21, yang pada intinya model ini merujuk kepada upaya pemberdayaan setiap komponen manusia yang terlibat dan bertanggung jawab dalam pendidikan.
Pemberdayaan pada dasarnya merupakan proses pemerdekaan diri,
dimana setiap individu dipandang sebagai sosok manusia yang memiliki kekuatan
cipta, rasa dan karsa dan jika ketiga aspek kekuatan diri manusia ini mempunyai
tempat untuk berkembang secara semestinya dalam suatu organisasi, maka hal ini
akan menjadi kekuatan yang luar biasa bagi kemajuan organisasi. Oleh karena
itu, partisipasi dan keterlibatan individu dalam setiap pengambilan keputusan
memiliki arti penting bagi pertumbuhan organisasi. Dengan keterlibatan mereka
dalam pengambilan keputusan, pada gilirannya akan terbentuk rasa tanggung jawab
bersama dalam mengimplementasikan setiap keputusan yang diambil.
Paul M. Terry
mengemukakan bahwa untuk dapat memberdayakan setiap individu dalam tingkat
persekolahan, seorang pemimpin (baca: kepala sekolah) seyogyanya dapat
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pemberdayaan (create an environment conducive
to empowerment), memperlihatkan idealisme pemberdayaan (demonstrates
empowerment ideals), penghargaan terhadap segala usaha pemberdayaan (encourages all endeavors toward
empowerment) dan penghargaan terhadap segala keberhasilan pemberdayaan (applauds all empowerment
successes).
Pendapat di atas mengindikasikan bahwa upaya pemberdayaan bukanlah hal
yang sederhana, melainkan di dalamnya membutuhkan kerja keras dan kesungguhan
dari pemimpin agar anggotanya tumbuh dan berkembang menjadi individu yang
berdaya.Jika saja seorang pemimpin sudah mampu memberdayakan seluruh anggotanya maka di sana akan tumbuh dinamika organisasi yang diwarnai dengan pemikiran kreatif dan inovatif dari setiap anggotanya. Mereka dapat mengekspresikan dan mengaktualisasikan dirinya secara leluasa tanpa hambatan sosio-psikologis yang membelenggunya. Semua akan bekerja dengan disertai rasa tanggung jawab profesionalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar